Hellooo..
I’m back with another book review! :D
Oke,
kali ini saya akan ngereview salah
satu buku traveling yang saya beli
beberapa minggu yang lalu tapi baru aja saya baca sampe abis hari ini. Ngga
seperti buku traveling lain yang
biasanya hanya menceritakan satu tokoh dalam satu atau beberapa perjalanan yang
ia lakukan, buku ini hadir dengan berbagai macam cerita dari berbagai daerah di
negara kita tercintaH Indonesia, yang dikisahkan oleh beberapa orang, seperti
Ve Handojo, Matatita, Windy Ariestanty, Richard Miles, Fajar Nugros, dan
lain-lain.
Dari
dua belas cerita yang ada dalam buku ini, parahnyaaa.. saya cuma tau satu
daerah yang dikisahkan, yaitu Kampung Batik Trusmi di Cirebon. Itu pun sekedar
tau, bukan pernah mengunjungi! *headbang* Sebelas daerah yang dikisahkan dalam
buku ini belum pernah saya kunjungi. Yah, mungkin saya pernah ke Bali, tapi
bukan untuk menyelam, jalan di pesawahan Ubud, atau ikutan kelompok naturist. Semua yang ada di buku ini
adalah cerita-cerita perjalanan yang baru bagi saya. Apalagi selain Cirebon dan
Bali, sisa cerita lain adalah tentang daerah di Indonesia bagian Timur, dimana
untuk melihat-lihat harga tiketnya saja saya belum pernah. *headbangPart2*
Sejauh-jauhnya kaki ini melangkah ke Timur adalah Bali. :|
Coba
tebak apa yang dikisahkan para pencerita ini ketika mereka mengunjungi bumi
Indonesia bagian Timur seperti Papua dan Maluku? Pantai! Mereka melukiskan
pantai-pantai di Lombok, Papua, dan Maluku seperti paradise, surga. Dimana-mana deskripsi pantai di Timur itu pasti
tertulis “bersih, sepi, pasir putih lembut, air jernih mulai dari berwarna
bening, hijau toska, sampai biru laut, langit cerah, seafood segar dan lezat”… ah saya juga mau dong ke tempat begituan :(
Tapi
ngga semua cerita dari Indonesia Timur penuh dengan happy-happy dan pantai surga, ada juga cerita agak dark dari Farid Gaban yang pernah
mengunjungi Boven Digoel, salah satu daerah yang sangat-sangat pedalaman di
Papua sana. Atau cerita Matatita yang mengunjungi Asmat menggunakan pesawat Twin Otter yang mendaratnya bukan di runway beraspal mulus melainkan di
landasan tikar baja yang berasa banget gruduk-gruduk-nya
pas mau landing dan take off.
Cerita
paling lucu sih menurut saya adalah cerita yang ditulis oleh Richard Miles,
seorang Australian yang kuliah di
Adelaide jurusan Bahasa Indonesia. Doi pernah PKL ngajar di Salatiga dan… ya
lucu aja baca tulisan berbahasa Indonesia yang mengalir lancar dari seorang
bule. Apalagi tulisannya ngga seserius tulisan yang lain dalam buku ini. Richard
bahkan ngerti banget dengan kosakata gaul bin ancur macam “sesuatu”, tau
Cherybelle, warkop dan es krim overrated,
Magnum, hahaha! Apa yang saya suka dari tulisannya bukan karena doi bule
keceh yang kerasan dan mengerti Indonesia sehingga menarik simpati, tapi karena dari tulisannya ini saya
bisa lihat potret negara saya sendiri dari perspektif orang asing yang tinggal
lumayan lama disini, kemudian merefleksikan hal yang sama pada diri saya
sendiri.. gimana kalo saya jadi dia, tinggal di negara lain? Bisa ngga menyatu
sama kebudayaan sekitar?
Ada
beberapa hal yang selalu bikin saya suka dari gaya hidup bule.. mereka ekspresif,
ngga jaim, beberapa kadang mungkin nyebelin dengan bergaya turis yang banyak
uang, tapi mereka mau dan bisa bergaul/membaur sama warga lokal. Hal-hal itu yang
masih dirasa sulit buat saya ketika jalan-jalan ke daerah atau negara lain
karena parno kalo kenalan sama orang lokal. Jangankan jalan-jalan keluar
negeri, waktu KKN di Purwakarta aja kayanya kita semua (satu grup) membaur dengan
warga lokal biar ‘selamet’ aja tinggal disitu sebulan, bukan karena benar-benar
pengen deket sama warga disitu (buktinya ngga ada salah satu dari kita yang mau
balik lagi kesana, ya kan? Hehehe!). Orang Indonesia jaimnya luar biasa,
padahal keadaan negaranya carut marut, sedikit yang bisa dibanggain. Kebalikan sama
bule, negaranya tajir abis, tapi gaya hidupnya humble. Take a look, bule
yang pergi pake koper gede dan bergaya perlente paling cuma yang pensiunan,
yang muda-muda biasanya manggul ransel segede karung Rojolele pake lekbong dan
celana pendek. Lah.. saya mah mana pernah keluar negeri ngga bawa koper? (tuh
kan.. endonesa endonesa… *sigh*)
Anyway,
buku ini bagus banget walaupun kurang semenghibur buku traveling kaya The Naked
Traveler 1-3 atau Trave(love)ing.
Saya bilang kurang menghibur karena saya jarang ketawa pas baca buku ini
(kecuali bagian yang ditulis Richard), ya mungkin karena memang tujuan buku ini
pada awalnya bukan buat cerita yang aneh-aneh dan kocak-kocak, tapi buat
membingkai kisah-kisah di sisi lain Indonesia nun jauh dari ibukota Jakarta. If you’re looking for a book yang bisa
menghadirkan Indonesia dari berbagai sisi, then
this book is really an informative one, especially about beaches in Indonesia bagian Timur.
Banyak
kata-kata yang bisa dikutip dari buku ini. Semuanya menggambarkan betapa
indahnya tanah air kita dan betapa traveling
itu bisa membuka mata dan pikiran kita tentang berbagai hal, selain
tentunya menambah pengalaman. Umum, ya? Tapi ada satu quote yang ngga umum dan buat saya paling kocak (kenapa gue ngga
bisa dikasih yang serius-serius sih? -__-). Ini adalah reaksi Richard waktu
naik becak yang digowes sama aki-aki usia 70 tahunan di Salatiga, tapi beliau cuma
minta bayaran sebesar lima ribu rupiah saja (padahal jarak tempuh jauh dan
medan berat).
“Saya langsung shock.
Astaga! Bapak ini rela mati demi lima ribu rupiah yang nggak seharga dengan
satu es krim Magnum. By the way,
nggak usah norak ye sama Magnum, cuma es krim doang… Beli satu Magnum udah bisa
beli nasi kucing tujuh, lho!”
Hahahaha! Saya ngakak
baca itu gara-gara merasa satu pendapat dengan Richard. Itu es krim biasa lho, tapi
harus gue akui tim marketing Magnum
sukses menciptakan image lain buat es
krim itu. Padahal, seriusan deh, kecantikan
atau kegantengan lo gak akan bertambah kalo keliatan lagi ngejilat es krim itu
pinggir jalan, huahahaha! Bener kata Richard, mendingan makan di angkringan
sampe kenyang daripada beli Magnum. :p