Wednesday, August 1, 2012

THE JOURNEYS 2 – Cerita dari Tanah Air Beta


Hellooo.. I’m back with another book review! :D
Oke, kali ini saya akan ngereview salah satu buku traveling yang saya beli beberapa minggu yang lalu tapi baru aja saya baca sampe abis hari ini. Ngga seperti buku traveling lain yang biasanya hanya menceritakan satu tokoh dalam satu atau beberapa perjalanan yang ia lakukan, buku ini hadir dengan berbagai macam cerita dari berbagai daerah di negara kita tercintaH Indonesia, yang dikisahkan oleh beberapa orang, seperti Ve Handojo, Matatita, Windy Ariestanty, Richard Miles, Fajar Nugros, dan lain-lain.
Dari dua belas cerita yang ada dalam buku ini, parahnyaaa.. saya cuma tau satu daerah yang dikisahkan, yaitu Kampung Batik Trusmi di Cirebon. Itu pun sekedar tau, bukan pernah mengunjungi! *headbang* Sebelas daerah yang dikisahkan dalam buku ini belum pernah saya kunjungi. Yah, mungkin saya pernah ke Bali, tapi bukan untuk menyelam, jalan di pesawahan Ubud, atau ikutan kelompok naturist. Semua yang ada di buku ini adalah cerita-cerita perjalanan yang baru bagi saya. Apalagi selain Cirebon dan Bali, sisa cerita lain adalah tentang daerah di Indonesia bagian Timur, dimana untuk melihat-lihat harga tiketnya saja saya belum pernah. *headbangPart2* Sejauh-jauhnya kaki ini melangkah ke Timur adalah Bali. :|
Coba tebak apa yang dikisahkan para pencerita ini ketika mereka mengunjungi bumi Indonesia bagian Timur seperti Papua dan Maluku? Pantai! Mereka melukiskan pantai-pantai di Lombok, Papua, dan Maluku seperti paradise, surga. Dimana-mana deskripsi pantai di Timur itu pasti tertulis “bersih, sepi, pasir putih lembut, air jernih mulai dari berwarna bening, hijau toska, sampai biru laut, langit cerah, seafood segar dan lezat”… ah saya juga mau dong ke tempat begituan :(
Tapi ngga semua cerita dari Indonesia Timur penuh dengan happy-happy dan pantai surga, ada juga cerita agak dark dari Farid Gaban yang pernah mengunjungi Boven Digoel, salah satu daerah yang sangat-sangat pedalaman di Papua sana. Atau cerita Matatita yang mengunjungi Asmat menggunakan pesawat Twin Otter yang mendaratnya bukan di runway beraspal mulus melainkan di landasan tikar baja yang berasa banget gruduk-gruduk­-nya pas mau landing dan take off.
Cerita paling lucu sih menurut saya adalah cerita yang ditulis oleh Richard Miles, seorang Australian yang kuliah di Adelaide jurusan Bahasa Indonesia. Doi pernah PKL ngajar di Salatiga dan… ya lucu aja baca tulisan berbahasa Indonesia yang mengalir lancar dari seorang bule. Apalagi tulisannya ngga seserius tulisan yang lain dalam buku ini. Richard bahkan ngerti banget dengan kosakata gaul bin ancur macam “sesuatu”, tau Cherybelle, warkop dan es krim overrated, Magnum, hahaha! Apa yang saya suka dari tulisannya bukan karena doi bule keceh yang kerasan dan mengerti Indonesia sehingga menarik simpati, tapi karena dari tulisannya ini saya bisa lihat potret negara saya sendiri dari perspektif orang asing yang tinggal lumayan lama disini, kemudian merefleksikan hal yang sama pada diri saya sendiri.. gimana kalo saya jadi dia, tinggal di negara lain? Bisa ngga menyatu sama kebudayaan sekitar?
Ada beberapa hal yang selalu bikin saya suka dari gaya hidup bule.. mereka ekspresif, ngga jaim, beberapa kadang mungkin nyebelin dengan bergaya turis yang banyak uang, tapi mereka mau dan bisa bergaul/membaur sama warga lokal. Hal-hal itu yang masih dirasa sulit buat saya ketika jalan-jalan ke daerah atau negara lain karena parno kalo kenalan sama orang lokal. Jangankan jalan-jalan keluar negeri, waktu KKN di Purwakarta aja kayanya kita semua (satu grup) membaur dengan warga lokal biar ‘selamet’ aja tinggal disitu sebulan, bukan karena benar-benar pengen deket sama warga disitu (buktinya ngga ada salah satu dari kita yang mau balik lagi kesana, ya kan? Hehehe!). Orang Indonesia jaimnya luar biasa, padahal keadaan negaranya carut marut, sedikit yang bisa dibanggain. Kebalikan sama bule, negaranya tajir abis, tapi gaya hidupnya humble. Take a look, bule yang pergi pake koper gede dan bergaya perlente paling cuma yang pensiunan, yang muda-muda biasanya manggul ransel segede karung Rojolele pake lekbong dan celana pendek. Lah.. saya mah mana pernah keluar negeri ngga bawa koper? (tuh kan.. endonesa endonesa… *sigh*)
Anyway, buku ini bagus banget walaupun kurang semenghibur buku traveling kaya The Naked Traveler 1-3 atau Trave(love)ing. Saya bilang kurang menghibur karena saya jarang ketawa pas baca buku ini (kecuali bagian yang ditulis Richard), ya mungkin karena memang tujuan buku ini pada awalnya bukan buat cerita yang aneh-aneh dan kocak-kocak, tapi buat membingkai kisah-kisah di sisi lain Indonesia nun jauh dari ibukota Jakarta. If you’re looking for a book yang bisa menghadirkan Indonesia dari berbagai sisi, then this book is really an informative one, especially about beaches in Indonesia bagian Timur.
Banyak kata-kata yang bisa dikutip dari buku ini. Semuanya menggambarkan betapa indahnya tanah air kita dan betapa traveling itu bisa membuka mata dan pikiran kita tentang berbagai hal, selain tentunya menambah pengalaman. Umum, ya? Tapi ada satu quote yang ngga umum dan buat saya paling kocak (kenapa gue ngga bisa dikasih yang serius-serius sih? -__-). Ini adalah reaksi Richard waktu naik becak yang digowes sama aki-aki usia 70 tahunan di Salatiga, tapi beliau cuma minta bayaran sebesar lima ribu rupiah saja (padahal jarak tempuh jauh dan medan berat).

“Saya langsung shock. Astaga! Bapak ini rela mati demi lima ribu rupiah yang nggak seharga dengan satu es krim Magnum. By the way, nggak usah norak ye sama Magnum, cuma es krim doang… Beli satu Magnum udah bisa beli nasi kucing tujuh, lho!”

Hahahaha! Saya ngakak baca itu gara-gara merasa satu pendapat dengan Richard. Itu es krim biasa lho, tapi harus gue akui tim marketing Magnum sukses menciptakan image lain buat es krim itu. Padahal, seriusan deh,  kecantikan atau kegantengan lo gak akan bertambah kalo keliatan lagi ngejilat es krim itu pinggir jalan, huahahaha! Bener kata Richard, mendingan makan di angkringan sampe kenyang daripada beli Magnum. :p